Rabu, 25 Februari 2015

Liburan Seru Ke Maumere, Pulau Flores

Liburan Seru Ke Maumere, Pulau Flores | Bunyi klakson tanpa jeda, diiringi teriakan dua sopir yang sibuk memperebutkan penumpang, menyambut saya di bandara yang dulunya bernarna Wai Oti itu. Sesaat saya menghela napas, membiarkan tubuh ini terbiasa dengan sergapan udara pangs Maumere.

Tepukan di bahu, yang bersambut menjadi pelukan erat, seketika mengubah penat jadi tawa. Beberapa menit kemudian, saya sudah duduk di dalam mobil Daihatsu renta yang berderit-derit tiap melintasi jalan yang tak mulus.
Si pengendara mobil, Karel Siga Siprianus, warga Maumere yang menjemput saya, berkata bahwa saya datang di saat yang tepat.

"Ini musim hujan. Di musim kemarau, tanaman mengering, dan tanah jadi tandus," katanya, sambil menunjuk gugusan bukit hijau di kejauhan, yang mengingatkan saya pada pemandangan negeri para hobbit dalam film The Lord of The Rings. Dentuman suara musik kencang dari kendaraan umum yang mendahului, mengagetkan saya. Hampir semua angkutan umum berlombalomba memasang musik dengan volume paling kencang!

Memasuki Desa Nita tempat kediaman Karel, kendaraan makin sepi. Perjalanan 4 jam dalam pesawat dari Jakarta, dan sekitar 45 menit perjalanan darat, membuat perut saya berbunyi begitu mencium aroma sedap makanan. Mata saya terbelalak takjub memandangi hamparan sajian sehat di atas balai bambu di halaman rumah Karel. Kepulan hangat sepiring nasi merah bercampur kacang hijau, berpadu sedapnya aroma ikan kerapu bakar dan tuna kuah asam yang disebut mage wair.

"Di sini, beras merah lebih murah dari beras putih karena kami tanam sendiri," ujar Karel, bangga. Epang gawan! Begitu is mengajari saya berucap terima kasih dalam bahasa Maumere, setelah selesai bersantap.



MEGAHNYA KESEDERHANAAN


Lapangan itu tidak terlampau luas. Di ujungnya, berdiri sebuah panggung yang juga tidak begitu besar. Tenda-tenda dari bambu dibangun di sekeliling lapangan. Warga dari berbagai kabupaten di Flores sudah berdatangan di halaman Gereja Katedral St. Yoseph, Maumere, yang tepat berdiri di seberang lapangan.

Pandangan saya terhenti pada sekelompok warga yang datang dari Kabupaten Nagekeo, sekitar 300 km dan Maumere. Mereka akan menari sebelum misa akbar yang mengawali festival budaya bertajuk Maumere in Love yang akan berlangsung seminggu.

Di tempat yang sama, 23 tahun lalu, sekitar 300.000 umat dari seluruh penjuru Flores berbondong-bondong mengikuti misa akbar yang dibawakan pemimpin umat Katolik sedunia, Paus Yohanes Paulus II. Mendiang Sri Paus bersikeras bermalam di Maumere, meski saat itu ibu kota Nusa Tenggara Timur ini belum memiliki hotel yang bisa dianggap layak untuk menyambut tamu negara. Seminari Tinggi Santo Petrus Ritapiret kemudian terpilih menjadi tempat bermalam.

Agama yang tumbuh berdampingan dengan sentuhan budaya lokal membuat misa di Maumere terasa lebih anggun dan sakral. Aplikasi tenun pada jubah imam, alat-alat musik tradisional, menjadi ciri khas tersendiri. Seorang pria yang memutar tubuhnya, berporos pada sebatang bambu, menjadikan tarian Tuaiteleu dari Desa Watublapi, Kabupaten Sikka, paling menyita perhatian.

Setelah matahari beranjak turun, niat hati ingin mengintip pemandangan bawah laut dengan snorkeling. Sayang, hujan turun begitu saya menyusuri Pantai Kajuwulu, di pesisir utara Kabupaten Sikka, tak sampai sejam dari Kota Maumere. Jadilah saya harus puas memandangi hamparan pantai berpasir putih yang ramai dikunjungi tiap sore itu.

Pesona bawah but Maumere telah pulih pascatsunami tahun 1992. Setelah Alor, Maumere adalah lokasi diving favorit di NTT. Di sekitar Maumere, ada tiga lokasi favorit untuk snorkeling dan diving: Sea World Club Resort, Ankermi Happy Dive Resort, dan Sao Wisata Diving Center.

Sea World dan Sao Wisata berlokasi di Pantai Waiara, 10 — 14 kilometer dari Bandara Frans Seda dan pusat Kota Maumere. Sementara Ankermi, yang paling direkomendasikan, terletak di Watumita, 29 kilometer dari pusat kota. Dengan 20 dolar AS (±Rp200.000), Anda bisa snorkeling dari Sea World ke Pulau Babi dengan satu kapal berisi 4 orang. Sedangkan untuk diving, dengan biaya 80 dolar AS (±Rp800.000), tiap penyelam mendapat perlengkapan dan makan slang. Sementara di Ankermi, satu kapal dengan tiga penumpang, bertarif 35 euro (±Rp394.000) per orang untuk diving.

MENELUSURI JEJAK SEJARAH

Keesokan paginya, saya memilih memisahkan diri dari keramaian, menuju ke Desa Sikka, sekitar 25 kilometer dari pusat Kota Maumere. Para mama yang menenun di halaman rumah, anak-anak yang bersenda gurau saat berjalan kaki ke sekolah, menjadi pemandangan yang membuat senyum terkembang.

Di tengah perjalanan, saya diajak berkunjung ke halaman belakang sebuah rumah. Kepulan asap menyeruak dari periuk tanah fiat di atas tungku berbahan bakar batok kelapa. Seorang lelaki paruh baya dengan sigap memanjat pohon lontar untuk menyadap nira.

Sadapan itu kemudian dijerang di atas api dan disuling dengan pipa bambu. Masyarakat setempat menyebut hasil sadapan berupa arak tradisional ini dengan nama moke atau sopi.

Para petani, terutama pria, biasa membawa moke sebagai bekal minum saat berladang, begitu juga dengan para pedagang di pasar. Namun, moke dengan kualitas terbaik biasanya hanya disajikan pada akhir pekan dan acara-acara adat. Sebagai pendamping hidangan utama, disajikan juga sirih dan pinang yang biasa dikonsumsi para mama.

Tak heran, sirih dan pinang menjadi  komoditas yang paling banyak diperdagangkan di pasar. Pemandangan itulah yang saya lihat di Pasar Geliting, yang terletak di Kecamatan Kewapante, saat meneruskan perjalanan ke Sikka. Di pasar yang konon berusia lebih dan 100 tahun ini, para wanita paruh baya berjual beli sambil mengenakan kain tenun ikat mereka.

Menjelang tengah hari, kami sampai di Gereja Santo Ignatius Loyola, Sikka. Gereja menjadi saksi sejarah masuknya agama Katolik di tanah Flores. Gereja itu diresmikan Pastor J. Engbers S.J. pada 24 Desember 1899. Namun, sejarah gereja di tepi pantai Laut Sawu irn bermula jauh sebelum itu.
Pada abad ke-15, Raja Sikka, Moang Lesu Liardira Wa Ngang. bertualang ke Selat Malaka. Di sana, is bertemu para misionaris Portugis, dan kembali ke Sikka dengan nama baptis Don Alexu Ximenes da Silva. Sejak itu. Sikka kerap dikunjungi misionaris Portugis yang menjelajah hingga ke Maumere.
Meski bangunan gereja ini bukanlah gereja yang didirikan da Silva, berbagai tradisi yang dimulai sejak abad ke-14 itu masih berjalan hingga sekarang.

Seperti tradisi Logu Senhor, prosesi menunduk di bawah salib, yang selalu dilakukan menjelang hari raya Paskah. Misa tiap Minggu di Gereja Sikka juga masih dilangsungkan dalam bahasa Latin. Makam dan juga kediaman Raja da Silva yang berupa rumah panggung pun masih bisa dilihat di bagian belakang gereja.

Selain Natal dan Paskah, bulan Mel dan Oktober menjadi masa datangnya banyak wisatawan ke Maumere, mengunjungi Patung Bunda Maria setinggi 28 meter di Bukit Nilo, Keling, Desa Wuliwutik, Kecamatan Nita, sekitar 10 kilometer dari Maumere. Dan atas bukit ini, pengunjung dapat melihat indahnya kota Maumere dari ketinggian 1.600 meter. Untuk mencapainya, butuh perjuangan menaiki lereng dengan kemiringan 45 derajat.

Keriaan kian memuncak saat saya kembali ke lapangan Gereja St. Yoseph, Maumere. Karena tabu bahwa itu adalah hari terakhir saya di Maumere, beberapa anak muda 'memaksa' saya ikut menari. Sekitar 50 orang membentuk lingkaran besar, bergandengan tangan, menari dan menyanyi diiringi musik berirama cepat. Aliran listrik yang sesekali padam tak menyurutkan kegembiraan.

Esoknya, lagu tradisional Maumere, Gemu Fa Mi Re masih terngiang di kepala saat deru turbin pesawat mulai berputar. Setelah menyimpan

kain kenang-kenangan dengan mata sembap, penumpang di sebelah saya, Pauline, berkata, "Mereka bilang, Indonesia meninggalkan mereka jauh di belakang." Saya tersentak. Saat melongok ke jendela, Flores tampak tinggal sebuah pulau kecil tertutup kabut di tengah hamparan samudra.


BAGAIMANA CARA KE SANA?


Belum ada penerbangan langsung dari Jakarta ke Maumere. Maskapai penerbangan Merpati, Batavia, dan Wings Air (Lion Air) setiap hari menyediakan rute penerbangan ke Maumere dengan transit di Denpasar, atau langsung dari Surabaya. Resort tempat Anda menginap bisa menyediakan transportasi penjemputan. Jika tidak, ada taksi berupa kendaraan pribadi, dengan biaya Rp70.000 - Rp100.000. Bisa juga dengan bus, Rp5.000 - Rpl0.000.

MENGINAP DI MANA?


Di Sao Wisata Diving Center, dengan harga kamar 15 - 40 dolar AS (±Rp142.500 - Rp380.000) per malam, atau Ankermi Happy Dive, Rp242.000 - Rp352.000.Pilihan lain di Sea World Club Resort, seharga 40 - 100 dolar AS (±Rp380.000 - Rp950.000) per malam.

BELANJA DI MANA?


Kain tenun ikat Sikka yang terkenal itu dapat dibeli langsung dari penenun di Desa Sikka. Kain tenun dengan motif dan corak warna berbeda dapat dibeli di hampir tiap desa. Mereka biasa menggelar kain yang mereka jual di halaman rumah. Bisa juga dibeli di pasar tradisional seperti Pasar Geliting. Kain sarung ukuran 2 meter ditawarkan mulai Rp500.000, tergantung motif, proses pengerjaan yang biasanya sampai hitungan bulan, dan banyaknya warna yang digunakan.

KAPAN WAKTU YANG PALING TEPAT UNTUK BERKUNJUNG?

Bulan April hingga Oktober. Pada bulan ini, cuaca dan air laut cukup bersahabat untuk menyelam dan snorkling. Jika untuk wisata religi, maka bulan April, adalah waktu yang tepat untuk melihat tradisi untuk menyambut paskah.

PENTING DIPERHATIKAN


  • Jangan pergi di hari Minggu. Mayoritas warga flores oergi beribadah
  • Beberapa penduduk lokal sangatsensitif terhadap pengambilan gambar. Adanya berinteraksi dulu dengan sosok atau pemilik objek yang ingin dipotret.
  • Jangan terkejut ketika jam masih menunjukan pukul 19.00, tapi hampir semua toko di Maumere sudah tutup. Umumnya, tempat usaha hanya buka sesuai jam berangkat dan pulang karyawan kantor.

LUCIA PRIANDARINI



Tidak ada komentar:

Posting Komentar